OPINI - Ketika kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-4 sampai abad ke-6 mengalami kemunduran, orang barbar, sebutan untuk orang-orang yang tidak bisa berbahasa Yunani ketika itu, yang terdiri dari suku Jermanic, Hunnic, Slavic, dan lain-lain.
Mereka melakukan migrasi besar-besaran yang kemudian menetap di Britania Raya hingga akhirnya menjadi sebuah identitas budaya baru dengan julukan Anglo-Saxon.
Periode awal Anglo-Saxon mencakup pembentukan bahasa Inggris yang, jika ditilik dari sistim kekerabatan bahasanya, merupakan turunan dari Germanic, lalu West Germanic, berikutnya Anglo-Frisian, dan akhirnya menjadi Old English.
Dari tradisi Anglo-Saxon dengan Old English inilah kita bisa menemukan kata lead, yang berarti jalur perjalanan kapal yang diarahkan oleh seorang nakhoda.
Baca juga:
Realita dan Ambisi G-20 di Perubahan Iklim
|
Aksioma di atas rupanya sejalan dengan konsep archipilago yang mana di kemudian hari oleh Bung Karno digunakan untuk mendefinisikan negara kita, bahwa Indonesia adalah negara lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Artinya, sebagai pewaris kebudayaan air, secara genealogis kita memiliki trah seorang pelaut andal.
Memiliki garis DNA yang tegas untuk bisa menjadi seorang leader yang mumpuni dalam bidang kepemimpinan.
Tapi, keandalan tersebuat apakah merujuk pada Sinbad The Sailor Man dalam sastra epik Timur Tengah 1001 malam atau justru mengarah pada Davy Jones yang terdapat dalam legenda bajak laut dengan The Flying Dutchman. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, kita harus mengujinya terlebih dahulu.
Poin satu. Di dalam KBBI, bajak laut diartikan sebagai pengacau di lautan.
Untuk memahami definisi ini (baca: chaos theory atau teori kekacauan), kita harus bersandar pada paradigma deterministik yang menyebut bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa diketahui polanya selama seluruh informasi yang terkait bisa kita dapatkan.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Ambillah contoh kekacauan yang terjadi beberapa hari ini ketika tersebarnya surat himbauan seorang kepala daerah kepada seluruh jajaran di bawahnya agar me-follow media sosial pribadi miliknya.
Supaya pembahasan kali ini tidak mengandung unsur delik, kita harus memastikan terlebih dahulu apakah surat tersebut bisa dipertanggung jawabkan keasliannya atau sekadar hoax.
Tapi, jika kita menggunakan proposisi what-if menurut pemikiran Aristoteles, pembahasan ini bisa kita lanjutkan dengan sebuah pengandaian bahwa objek yang sedang kita bahas adalah benar adanya.
Pertama.
Surat itu dilandasi dengan sebuah pra-kondisi bahwa kita sudah dan sedang berada di dalam keadaan yang dinamakan four point o dengan segala kecanggihan digitalisasinya yang bisa menghubungkan manusia tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Baca juga:
Bahtsul Masail dan Kiai Zaini Mun'im
|
Selanjutnya, surat itu menjelaskan maksud dan tujuannya bahwa kecanggihan tersebut supaya dimanfaatkan agar kepala daerah yang bersangkutan bisa lebih dekat dengan masyarakat.
Dari sini akan saya tunjukkan di mana letak kekacauannya.
a) Kegagapan dalam membedakan pertemuan virtual dengan setuhan hangat. Maksudnya, secanggih apapun teknologi video dan sejenisnya, tidak akan mampu mengalahkan bahkan menggantikan pertemuan langsung seorang pemimpin dengan rakyatnya.
b) Media sosial yang dimaksud pasti dikelola oleh tim, bukan yang bersangkutan secara langsung, Jadi, tujuan agar pemimpin bisa lebih dekat dengat rakyat malah menciptakan jarak.
c) Tidak ada komunikasi dua arah. Maka, jika sistem ini jadi diterapkan, bagi saya merupakan bentuk dari feodalisme gaya baru.
Baca juga:
Tony Rosyid: Plus Minus NU Dukung Anies
|
Kedua.
Jika ads sense media sosial si kepala daerah dihidupkan, dan karena itu akan ada pundi-pundi uang yang dihasilkan, maka surat himbauan tersebut akan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang yang menjurus pada tindak pidana korupsi.
Maksud saya, kenapa media sosial itu tidak diatas namakan lembaga. Sehingga, siapapun nanti yang memimpin, media sosial itu tetap dapat digunakan, dan, seandainya ada pemasukan di sana, bisa masuk kedalam kas daerah.
Ketiga.
Tidak dipahaminya konsep hak dan kewajiban oleh yang bersangkutan. Maksudnya, kenapa di sana pertama-tama yang disebut adalah hak lalu kewajiban. Karena, pada setiap tanggal 1, seluruh aparatur negara diberikan hakknya oleh negara agar selanjutnya, setiap perintah yang diberikan oleh atasan sifatnya adalah wajib.
Maka dalam konteks surat yang beredar, meskipun berupa himbauan, sejatinya ada unsur paksaan di dalamnya. Itulah sebabnya, perbuatan tersebut menurut saya masuk dalam penyalahgunaan wewenang. Atas sebab kekacauan berpikir inilah yang membuat keriuhan didalam sosial masyarakat timbul.
Pertanyaannya, bagaimana bisa kendaraan bagus, canggih, mahal, dan masih satu tahun pemakaian—mogok di tengah jalan? Atau, bagaimana bisa—angin kencang, layar terkembang, peralatan kompas, batuan rasi bintang, dan perahu yang kokoh malah membuat kapal yang dinakhodainya terapung-apung di lautan.
Pernyataan saya ini bisa digunakan sebagai himbauan sekaligus nasihat untuk Njenengan yang sedang ngonten untuk chanel Youtube, jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran besok-besok, kalau malas kerja, tidak mau menemui rakyat, tidak usah ikut kontestasi lagi. Biar wakilnya saja yang maju, karena dia memang rajin orangnya.
Selanjutnya, memasuki poin dua, dan ini yang paling penting sekaligus yang paling serius; lihatlah poin satu, terutama pada bagian kalimat yang paling terakhir.
Oleh: Fajar SHP
Pegiat Literasi Blitar dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pincab Kabupaten Blitar